Sejarah membuat orang bijak, begitu pepatah lama berkata. Tetapi, menurut filsuf Jean-Paul Sartre, manusia dikutuk untuk terus memilih selama dia hidup. Dan 'Sang Pencerah' yang disutradarai dan skenarionya ditulis oleh Hanung Bramantyo ini juga mengalaminya.
Tidak. Saya tidak bilang kalau film ini jelek. Bahkan, selain 'Catatan Akhir Sekolah' dan 'Get Married', film ini termasuk karya Hanung yang terbaik. Mungkin karena temanya, Yogya dan Muhammadiyah, dekat dengan sang sutradara.
Lihat saja, film berdurasi 112 menit ini berhasil meyakinkan penontonnya untuk menikmati Yogyakarta di akhir abad ke-19. Tentu, selain sang sutradara, Departemen kostum/wardrobe (Retno) sangat berjasa dalam hal ini. Lihat saja bagaimana Kebun Raya Bogor disulap menjadi Malioboro beserta Tugunya. Atau, yang paling spektakular, adalah bagaimana mereka membangun replika Kabah satu banding satu untuk adegan thawaf kala haji, dengan begitu meyakinkan, ditambah footage orang berhaji tempo dulu.
Atau, dalam soal make-up (Jerry Octavianus), bagaimana sang istri, Siti Walidah, baik yang diperankan Marsya Natika atau Zaskia Adya Mecca berkulit sawo matang. Tya Subiakto yang menggawangi music score juga turut menyumbangkan atmosfir yang signifikan.
Satu lagi yang bersinar adalah penata sinematografi Faozan 'Pao' Rizal yang mempersembahkan karya terbaiknya. Para pemain pada umumnya, khususnya Lukman Sardi dan Ikhsan Idol yang menjadi KH Ahmad Dahlan, tampil cemerlang. Juga aktor lainnya seperti Slamet Rahardjo Djarot dan Giring Nidji.
Kisah berfokus pada sejarah hidup pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, sejak lahir hingga mendirikan Muhammadiyah pada 12 November 1912. Ia, beserta 5 muridnya (Sudjak, Fachrudin, Hisyam, Syarkawi, Abdul Ghani) berada pada masa di mana
praktik-praktik ritual melenceng dari kemurnian ajaran Islam. Atau bagaimana, kala itu, sebuah sekolah Islam dianggap haram memakai bangku dan meja dengan alasan itu semua buatan kafir.
Dan sejarah menunjukkan fungsinya, bagaimana ia menjadi cermin betapa kurangnya Indonesia kiwari akan sosok panutan yang patut diteladani. Juga bahwa sejak dulu hingga sekarang, praktik kekerasan atas nama agama berlangsung. Masa itu, saling
menuding 'kafir' adalah hal biasa, sedangkan pembaruan dianggap sesuatu yang mengancam. Misalnya saja bagaimana Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang menjadi mujaddid kala itu dituduh sesat hanya karena menerbitkan Al-Manar (dan,
sebenarnya, al-Urwatul Utsqa) dari Paris.
Yang menarik lainnya, Kiai kita ini bisa menguasai medan dakwah (lihat adegan di sekolah Belanda) atau menggunakan cara dakwah yang dianggap nyeleneh, bahkan mungkin hingga kini (misalnya, mengajarkan agama dengan biola, atau memakai perumpamaan agama dengan musik), dan tidak hanya mengajarkan toleransi, tetapi juga koeksistensi alias bekerja sama dengan yang tidak sealiran.
Tentu saja, membuat film sejarah tentang biopic tokoh sekaliber KH Ahmad Dahlan tentu saja tidak mudah, dan Hanung cukup berhasil mengatasinya. Khususnya, berbagai masalah sensitif yang menyangkut Sri Sultan Hamengku Buwono hingga Muslim tradisionalis.
Persoalan mendasar adalah bagaimana menjelaskan karakter mulia KH Ahmad Dahlan yang santun dan toleran disukai baik oleh Muslim atau non-Muslim dan masuk dalam berbagai organisasi macam Jamiat Khaer, Syarikat Islam (SI), hingga Boedi Oetomo dengan visinya untuk pembaruan agama yang mau tidak mau, melawan mayoritas Muslim yang kala itu berbaur dengan mistik kejawen (istilah populernya kala itu: TBC, Takhayul, Bid'ah, Churafat) dan bahkan madzhab Masjid Agung Kauman, simbol aliran agama resmi kesultanan Yogyakarta.
Walhasil, sedikit sekali pembahasan mendalam tentang bagaimana KH Ahmad Dahlan menjelaskan tentang beda 11 dan 23 rakaat salat Tarawih, atau soal Yasinan dan tahlilan, atau mengucapkan gelar Sayyidina (tuanku) setelah nama Nabi Muhammad . Tentu akan menarik bagaimana akhlak mulia Sang Kiai bisa mengatasi perbedaan dan tentu rakyat belum berhenti melihat jamaah terus konfrontasi antara kaum modernis dan tradisionalis berkenaan hal-hal yang sifatnya cabang (furu'iyah).
Pernah saya mendengar berita akan ada adegan tentang Dahlan muda, Muhammad Darwis, melakukan perjalanan laut ke Mekkah untuk berhaji. Di sana, dia bertemu dan bersahabat dengan (nantinya) pendiri Nahdhatul Ulama (NU) KH Hasyim As'ari. Dan
kelak keduanya, bersama Agus Salim, berguru pada orang yang sama, Imam madzhab Syafiiyah di Masjidil Haram asal Indonesia bernama Ahmad Khatib. Sayang adegan ini tidak ada.
Hal lain yang mengganjal adalah ide bahwa nasionalisme KH Ahmad Dahlan makin menyala kala ia bersentuhan dan lalu menjadi anggota Boedi Oetomo. Saya bisa memahami betapa Boedi Oetomo sangat penting dalam mencerahkan pemikiran kebangsaan sang kiai, bahkan sampai bertemu dan berdiskusi dengan Dr Wahidin Sudirohusodo. Dan dari situ timbul konflik yang mengasyikkan, bagaimana ia ditakutkan akan menjadi Islam Kejawen akibat hubungannya dengan organisasi yang didominasi oleh Jawa Ningrat itu. Atau, bagaimana KH Ahmad Dahlan 'berbahasa dengan bahasa kaumnya' dengan memakai beskap, sesuatu yang menjadi simbol orang kafir.
Tetapi, alangkah menariknya bila juga diceritakan persinggungannya dengan SI, organisasi bervisi kebangsaan yang lahir lebih dulu dari Boedi Oetomo dan berasal dari berbagai etnis dan suku seluruh Nusantara.
Tapi saya bisa memaklumi. Hanung terpaksa harus memilih bagian mana yang dimasukkan dan mana yang dibuang. Adegan dialog tentang barang kafir, atau 'hidupi Muhammadiyah, jangan hidup dari Muhammadiyah', tentu ada. Tetapi ada hal-hal
sensitif yang kurang diangkat. Dan masalah lainnya adalah tentang bahan-bahan seputar pribadinya, khususnya saat masih bernama Muhammad Darwis, yang cukup langka. Mungkin, kiprah KH Dahlan di SI juga kekurangan bahan. Tentu ini menjadi catatan tersendiri urusan kearsipan di negeri ini.
Sayangnya, ada penyederhanaan soal mengapa Islam di Jawa mempraktikkan mistisme dan sinkretisme. Di awal film, ada pernyataan semua itu karena Syekh Siti Jenar, tetapi bagi yang mengkaji sejarah agama di Nusantara tahu bahwa kondisinya tidak sesimpel itu. Karena, Wali Songo juga mengajarkan tasawuf, dan bahkan ada teori bahwa Islam di abad pertengahan masuk dari Gujarat (India) yang memakai pendekatan 'sufisme' yang kemudian banyak yang terselewengkan atau disalahtafsirkan dan berbaur dengan ajaran lokal. Intinya, bukan tokohnya, tapi salah tangkapnya itulah yang menjadi sumber masalah.
Bagaimana pun, 'Sang Pencerah' adalah sebuah film sejarah yang dibuat dengan layak dengan nilai produksi di atas rata-rata. Sekali lagi, film ini juga menjadikan sejarah sebagai pelajaran di masa kini. Mengutip sejarahwan Kuntowijoyo: sejarah itu seperti spiral, dia akan terus berulang tetapi selalu maju ke depan. Misalnya: toleransi, koeksistensi, kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang. Inilah sebuah film yang wajib tonton.
Lihat video Trailer Sang Pencerah di sini
Tidak. Saya tidak bilang kalau film ini jelek. Bahkan, selain 'Catatan Akhir Sekolah' dan 'Get Married', film ini termasuk karya Hanung yang terbaik. Mungkin karena temanya, Yogya dan Muhammadiyah, dekat dengan sang sutradara.
Lihat saja, film berdurasi 112 menit ini berhasil meyakinkan penontonnya untuk menikmati Yogyakarta di akhir abad ke-19. Tentu, selain sang sutradara, Departemen kostum/wardrobe (Retno) sangat berjasa dalam hal ini. Lihat saja bagaimana Kebun Raya Bogor disulap menjadi Malioboro beserta Tugunya. Atau, yang paling spektakular, adalah bagaimana mereka membangun replika Kabah satu banding satu untuk adegan thawaf kala haji, dengan begitu meyakinkan, ditambah footage orang berhaji tempo dulu.
Atau, dalam soal make-up (Jerry Octavianus), bagaimana sang istri, Siti Walidah, baik yang diperankan Marsya Natika atau Zaskia Adya Mecca berkulit sawo matang. Tya Subiakto yang menggawangi music score juga turut menyumbangkan atmosfir yang signifikan.
Satu lagi yang bersinar adalah penata sinematografi Faozan 'Pao' Rizal yang mempersembahkan karya terbaiknya. Para pemain pada umumnya, khususnya Lukman Sardi dan Ikhsan Idol yang menjadi KH Ahmad Dahlan, tampil cemerlang. Juga aktor lainnya seperti Slamet Rahardjo Djarot dan Giring Nidji.
Kisah berfokus pada sejarah hidup pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, sejak lahir hingga mendirikan Muhammadiyah pada 12 November 1912. Ia, beserta 5 muridnya (Sudjak, Fachrudin, Hisyam, Syarkawi, Abdul Ghani) berada pada masa di mana
praktik-praktik ritual melenceng dari kemurnian ajaran Islam. Atau bagaimana, kala itu, sebuah sekolah Islam dianggap haram memakai bangku dan meja dengan alasan itu semua buatan kafir.
Dan sejarah menunjukkan fungsinya, bagaimana ia menjadi cermin betapa kurangnya Indonesia kiwari akan sosok panutan yang patut diteladani. Juga bahwa sejak dulu hingga sekarang, praktik kekerasan atas nama agama berlangsung. Masa itu, saling
menuding 'kafir' adalah hal biasa, sedangkan pembaruan dianggap sesuatu yang mengancam. Misalnya saja bagaimana Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang menjadi mujaddid kala itu dituduh sesat hanya karena menerbitkan Al-Manar (dan,
sebenarnya, al-Urwatul Utsqa) dari Paris.
Yang menarik lainnya, Kiai kita ini bisa menguasai medan dakwah (lihat adegan di sekolah Belanda) atau menggunakan cara dakwah yang dianggap nyeleneh, bahkan mungkin hingga kini (misalnya, mengajarkan agama dengan biola, atau memakai perumpamaan agama dengan musik), dan tidak hanya mengajarkan toleransi, tetapi juga koeksistensi alias bekerja sama dengan yang tidak sealiran.
Tentu saja, membuat film sejarah tentang biopic tokoh sekaliber KH Ahmad Dahlan tentu saja tidak mudah, dan Hanung cukup berhasil mengatasinya. Khususnya, berbagai masalah sensitif yang menyangkut Sri Sultan Hamengku Buwono hingga Muslim tradisionalis.
Persoalan mendasar adalah bagaimana menjelaskan karakter mulia KH Ahmad Dahlan yang santun dan toleran disukai baik oleh Muslim atau non-Muslim dan masuk dalam berbagai organisasi macam Jamiat Khaer, Syarikat Islam (SI), hingga Boedi Oetomo dengan visinya untuk pembaruan agama yang mau tidak mau, melawan mayoritas Muslim yang kala itu berbaur dengan mistik kejawen (istilah populernya kala itu: TBC, Takhayul, Bid'ah, Churafat) dan bahkan madzhab Masjid Agung Kauman, simbol aliran agama resmi kesultanan Yogyakarta.
Walhasil, sedikit sekali pembahasan mendalam tentang bagaimana KH Ahmad Dahlan menjelaskan tentang beda 11 dan 23 rakaat salat Tarawih, atau soal Yasinan dan tahlilan, atau mengucapkan gelar Sayyidina (tuanku) setelah nama Nabi Muhammad . Tentu akan menarik bagaimana akhlak mulia Sang Kiai bisa mengatasi perbedaan dan tentu rakyat belum berhenti melihat jamaah terus konfrontasi antara kaum modernis dan tradisionalis berkenaan hal-hal yang sifatnya cabang (furu'iyah).
Pernah saya mendengar berita akan ada adegan tentang Dahlan muda, Muhammad Darwis, melakukan perjalanan laut ke Mekkah untuk berhaji. Di sana, dia bertemu dan bersahabat dengan (nantinya) pendiri Nahdhatul Ulama (NU) KH Hasyim As'ari. Dan
kelak keduanya, bersama Agus Salim, berguru pada orang yang sama, Imam madzhab Syafiiyah di Masjidil Haram asal Indonesia bernama Ahmad Khatib. Sayang adegan ini tidak ada.
Hal lain yang mengganjal adalah ide bahwa nasionalisme KH Ahmad Dahlan makin menyala kala ia bersentuhan dan lalu menjadi anggota Boedi Oetomo. Saya bisa memahami betapa Boedi Oetomo sangat penting dalam mencerahkan pemikiran kebangsaan sang kiai, bahkan sampai bertemu dan berdiskusi dengan Dr Wahidin Sudirohusodo. Dan dari situ timbul konflik yang mengasyikkan, bagaimana ia ditakutkan akan menjadi Islam Kejawen akibat hubungannya dengan organisasi yang didominasi oleh Jawa Ningrat itu. Atau, bagaimana KH Ahmad Dahlan 'berbahasa dengan bahasa kaumnya' dengan memakai beskap, sesuatu yang menjadi simbol orang kafir.
Tetapi, alangkah menariknya bila juga diceritakan persinggungannya dengan SI, organisasi bervisi kebangsaan yang lahir lebih dulu dari Boedi Oetomo dan berasal dari berbagai etnis dan suku seluruh Nusantara.
Tapi saya bisa memaklumi. Hanung terpaksa harus memilih bagian mana yang dimasukkan dan mana yang dibuang. Adegan dialog tentang barang kafir, atau 'hidupi Muhammadiyah, jangan hidup dari Muhammadiyah', tentu ada. Tetapi ada hal-hal
sensitif yang kurang diangkat. Dan masalah lainnya adalah tentang bahan-bahan seputar pribadinya, khususnya saat masih bernama Muhammad Darwis, yang cukup langka. Mungkin, kiprah KH Dahlan di SI juga kekurangan bahan. Tentu ini menjadi catatan tersendiri urusan kearsipan di negeri ini.
Sayangnya, ada penyederhanaan soal mengapa Islam di Jawa mempraktikkan mistisme dan sinkretisme. Di awal film, ada pernyataan semua itu karena Syekh Siti Jenar, tetapi bagi yang mengkaji sejarah agama di Nusantara tahu bahwa kondisinya tidak sesimpel itu. Karena, Wali Songo juga mengajarkan tasawuf, dan bahkan ada teori bahwa Islam di abad pertengahan masuk dari Gujarat (India) yang memakai pendekatan 'sufisme' yang kemudian banyak yang terselewengkan atau disalahtafsirkan dan berbaur dengan ajaran lokal. Intinya, bukan tokohnya, tapi salah tangkapnya itulah yang menjadi sumber masalah.
Bagaimana pun, 'Sang Pencerah' adalah sebuah film sejarah yang dibuat dengan layak dengan nilai produksi di atas rata-rata. Sekali lagi, film ini juga menjadikan sejarah sebagai pelajaran di masa kini. Mengutip sejarahwan Kuntowijoyo: sejarah itu seperti spiral, dia akan terus berulang tetapi selalu maju ke depan. Misalnya: toleransi, koeksistensi, kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang. Inilah sebuah film yang wajib tonton.
Lihat video Trailer Sang Pencerah di sini
2 comments:
tukar link ya, link blognya udah dipasang di blogku
blog
yang menarik...
banyak makna'a pasti..
Post a Comment
Bagi Pengunjung dan mengambil data dari Blog ini, Untuk Perbaikan artikel-artikel di atas DIWAJIBKAN BERKOMENTAR, Trms..Wassalam