A. Model Pengembangan Kurikulum Menurut Robert S. Zais
Robert S. Zais (1976 dalam Arifin 2011: 137-143) mengemukakan delapan 
model pengembangan kurikulum. Dasar teoretisnya adalah institusi atau 
orang yang menyelenggarakan pengembangan, pengambilan keputusan, 
penetapan ruang lingkup kegiatan yang termuat dalam kurikulum, realitas 
implementasinya, pendekatan permasalahan dengan cara pelaksanaannya, 
penelitian sistematis tentang masalahnya, dan pemanfaatan teknologi 
dalam pengembangan kurikulum. Model-model tersebut adalah sebagai 
berikut.
1. The Administrative (Line-Staff) Model
Model ini menggunakan prosedur “garis-staf” atau garis komando “dari 
atas ke bawah” (top-down). Maksudnya, inisiatif pengembangan kurikulum 
berasal dari pejabat tinggi (Kemdiknas), kemudian secara structural 
dilaksanakan di tingkat bawah. Dalam model ini pejabat pendidikan 
membentuk panitia pengarah (steering commitee) yang biasanya terdiri 
atas pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan guru-guru inti. Panitia 
pengarah ini bertugas merumuskan rencana umum, prinsip-prinsip, landasan
 filosofis, dan tujuan umum pendidikan.
Selanjutnya mereka membentuk kelompok-kelompok kerja sesuai keperluan. 
Anggota-anggota kelompok kerja umumnya terdiri atas guru-guru dan 
spesialis-spesialis kurikulum. Tugasnya adalah merumuskan tujuan 
kurikulum yang spesifik, menyusun materi, kegiatan pembelajaran, sistem 
penilaian, dan sebagainya sesuai dengan kebijakan steering committee. 
Hasil pekerjaannya direvisi oleh panitia pengarah. Jika dipandang perlu 
akan diadakan uji coba untuk meneliti kelayakan pelaksanaannya. Hal ini 
dikerjakan oleh suatu komisi yang ditunjuk oleh panitia pengarah dan 
keanggotaannya terdiri atas sebagian besar kepala-kepala sekolah. 
Apabila pekerjaan itu telah selesai, diserahkan kembali kepada panitia 
pengarah untuk ditelaah kembali, baru kemudian diimplementasikan.
2. The Grass-Roots Model
Inisiatif pengembangan kurikulum model ini berada di tangan guru-guru 
sebagai pelaksana kurikulum di sekolah, baik yang bersumber dari satu 
sekolah maupun dari beberapa sekolah sekaligus. Model ini didasarkan 
pada dua pandangan pokok. Pertama, implementasi kurikulum akan lebih 
berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah sejak semula terlibat
 secara langsung dalam pengembangan kurikulum. Kedua, pengembangan 
kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang profesional (guru) saja, 
tetapi juga siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan 
pengembangan kurikulum ini, kerja sama dengan orang tua murid dan 
masyarakat sangat penting.
Model grass-roots ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu (a) kurikulum
 akan bertambah baik jika kemampuan profesional guru bertambah baik, (b)
 kompetensi guru akan bertambah baik jika guru terlibat secara pribadi 
dalam merevisi kurikulum, (c) jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan
 yang ingin dicapai, menyeleksi, mendefinisikan dan memecahkan masalah, 
mengevaluasi hasil, maka hasil pengembangan kurikulum akan lebih 
bermakna, (d) hendaknya di antara guru-guru terjadi kontak langsung 
sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu consensus 
tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.
3. The Demonstration Model
Model ini dikembangkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kurikulum 
dalam skala kecil. Dalam pelaksanaannya, model ini menuntut sejumlah 
guru dalam satu sekolah untuk mengorganisasikan dirinya dalam 
memperbarui kurikulum. Menurut Smith, Stanley, dan Shores, model 
deminstrasi terdiri atas dua bentuk. Bentuk pertama yang cenderung 
bersifat formal. Sekelompok guru diorganisasi dalam suatu sekolah secara
 terpisah untuk mengembangkan projek percobaan kurikulum. Inisiatif dan 
organisasi kurikulum berasal dari atas. Bentuk kedua yang dianggap 
kurang formal. Guru-guru yang kurang puas dengan kurikulum membuat 
eksperimen dalam area tertentu. Mereka bekerja secara tidak terstruktur.
 Jika eksperimen berhasil akan diadopsi penggunaannya di seluruh 
sekolah.
Keuntungan model ini adalah (a) karena kurikulum telah dilaksanakan 
secara nyata, maka dapat memberikan alternative yang dapat bekerja, (b) 
perubahan kurikulum pada bagian tertentu lebih muda disepakari dan 
diterima daripada perubahan secara keseluruhan, (c) mudah untuk 
mengatasi hambatan, dan (d0 menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif
 dan narasumber. Kelemahan kurikulum ini adalah dapat menimbulkan 
antagonism guru-guru yang tidak terlibat dalam proses pengembangan.
4. Beauchamp’s System Model
Ada lima langkah kritis dalam pengambila keputusan pengembangan 
kurikulum menurut Beauchamp (1975 dalam Arifin 2011: 140), yaitu (a) 
menentukan arena pengembangan kurikulum (bisa berupa kelas, sekolah, 
system persekolahan regional atau system pendidikan nasional, (b) 
memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum nyang terdiri atas 
spesialis kurikulum, perwakilan kelompok-kelompok profesional dan 
guru-guru kelas yang terpilih, semua tenaga profesional yang ada dalam 
system sekolah tersebut, dan kelompok masyarakat yang representatif, (c)
 pengorganisasian dan penentuan prosedur perencanaan kurikulum yang 
meliputi menetapkan tujuan kurikulum, memilih materi pelajaran, 
mengembangkan kegiatan pembelajaran, dan mengembangkan desain, (d) 
pelaksanaan kurikulum secara sistematis, dan (e) evaluasi kurikulum.
5. Taba’s Inverted Model
Model ini dimulai dengan melaksanakan eksperimen, diteorikan, kemudian 
diimplementasikan. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan antara teori dan
 praktik, serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan kurikulum 
sebagaimana sering terjadi apabila dilakukan tanpa kegiatan 
eksperimental.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum menurut Hilda Taba, yaitu (a) 
kelompok guru terlebih dahulu menghasilkan unit-unit kurikulum untuk 
dieksperimenkan, (b) uji coba unit-unit eksperimen untuk menemukan 
validitas dan kelayakan pembelajaran, (c) merevisi hasil uji coba dan 
mengonsolidasikan unit-unit kurikulum, (d) mengembangkan kerangka kerja 
teoretis, dan (e) pengasemblingan dan deseminasi hasil yang telah 
diperoleh.
6. Roger’s Interpersonal Relations Model
Model ini berasal dari seorang psikolog yaitu Carl Rogers. Dia berasumsi
 bahwa kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang 
terbuka, luwes, dan adaptif terhadap situasi perubahan.
Langkah-langkah dalam model ini adalah (a) memilih suatu sasaran 
administrator dalam sistem pendidikan dengan syarat bahwa individu yang 
terlibat hendaknya ikut aktif berpartisipasi dalam kegiatan kelompok 
secara intensif agar mereka dapat berkenalan secara lebih akrab, (b) 
mengikutsertakan guru-guru dalam pengalaman kelompok secara intensif, 
(c) mengikutsertakan unit kelas dalam pertemuan lima hari, (d) 
menyelenggarakan pertemuan secara interpersonal antara administrator, 
guru, dan orang tua peserta didik, (e) pertemuan vertical yang mendobrak
 hierarki, birokrasi, dan status sosial.
7. The systematic Action-Research Model
Tiga faktor utama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini 
adalah adanya hubungan antarmanusia, organisasi sekolah dan masyarakat, 
serta otoritas ilmu.
Langkah-langkah dalam model ini adalah (a) merasakan adanya masalah 
dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam, (b) 
mengidentifikasi factor-faktor apa saja yang memengaruhinya, (c) 
merencanakan secara mendalam bagaimana pemecahannya, (d) menentukan 
keputusan-keputuasn apa yang perlu diambil sehubungan dengan masalah 
tersebut, (e) melaksanakan keputusan yang telah diambil dan menjalankan 
rencana yang telah disusun, (f) mencari fakta secara meluas, dan (g) 
menilai tentang kekuatan dan kelemahannya.
8. Emerging Technical Model
Model teknologis ini terdiri atas tiga variasi model, yaitu model 
analisis tingkah laku, model analisis sistem, dan model berdasarkan 
komputer.
Model analisis tingkah laku memulai kegiatan dengan jalan melatih 
kemampuan anak mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks 
secara bertahap. Model analisis sistem memulai kegiatannya dengan jalan 
menjabarkan tujuan-tujuan secara khusus (output), kemudian menyusun 
alat-alat ukur untuk menilai keberhasilannya, selanjutnya 
mengidentifikasi sejumlah factor yang berpengaruh terhadap proses 
penyelenggaraannya. Model berdasarkan komputer memulai kegiatannya 
dengan jalan mengidentifikasi sejumlah unit kurikulum lengkap dengan 
tujuan-tujuan pembelajaran khususnya. Setelah itu, guru dan murid 
diwawancarai tentang pencapaian tujuan-tujuan tersebut dan data itu 
disimpan dalam komputer untuk dimanfaatkan dalam menyusun materi 
pembelajaran untuk murid.
B. Model Kurikulum yang Berorientasi pada Tujuan
Model kurikulum yang berorientasi pada tujuan (goal-oriented curriculum)
 telah digunakan di Indonesia dan berlaku secara efektif sampai tahun 
2003. Kebaikan-kebaikan model ini antara lain (1) tujuan yang akan 
dicapai jelas bagi penyusun kurikulum, (2) tujuan-tujuan tersebut akan 
memberikan arah yang jelas dalam menetapkan materi pelajaran, metode, 
jenis-jenis kegiatan, dan alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan, 
(3) tujuan-tujuan itu akan memberikan arah dalam melakukan penilaian 
terhadap proses dan hasil yang dicapai, dan (4) hasil evaluasi yang 
berorientasi pada tujuan tersebut akan membantu pengembang kurikulum 
dalam melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
C. Model Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum) , yaitu 
suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan dan penguasaan 
kompetensi bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman 
sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga hasilnya dapat 
dirasakan oleh peserta didik, orang tua, dan masyarakat, baik untuk 
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, memasuki dunia kerja, maupun 
sosialisasi dengan masyarakat.
Dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah (1) 
kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam 
berbagai konteks, (2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang 
dilalui siswa untuk menjadi kompeten, (3) kompetensi merupakan hasil 
belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan 
siswa setelah melalui proses pembelajaran, (4) keandalan kemampuan siswa
 melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu
 standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur, (5) 
kompetensi berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul 
pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang 
bermakna, dan keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan 
kebutuhannya, dan (6) kompetensi merupakan pernyataan apa yang 
diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan peserta didik dalam
 setiap tingkatan kelas dan sekolah, sekaligus menggambarkan kemajuan 
peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran pada periode 
tertentu.
D. Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional 
yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. 
KTSP terdiri atas tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur 
dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan
 silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau 
kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, 
kompetensi dasar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indicator 
pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
KTSP dikembangkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut.
(1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
(2) Beragam dan terpadu
(3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
(4) Relevan dengan kebutuhan hidup
(5) Menyeluruh dan berkesinambungan
(6) Belajar sepanjang hayat
(7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
E. Model Kurikulum Bermuatan Lokal
Kurikulum bermuatan lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan 
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang disusun oleh satuan 
pendidikan sesuai dengan keragaman potensi daerah, karakteristik daerah,
 keunggulan daerah, kebutuhan daerah, dan lingkungan masing-masing serta
 cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan 
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pengembangan muatan lokal dilakukan dengan kriteria (1) sesuai dengan 
tingkat perkembangan kemampuan fisik, sosial, dan mental peserta didik, 
(2) tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, (3) tidak 
bertentangan dengan upaya pelestarian lingkungan alam, sosial, dan 
budaya, (4) berguna bagi kehidupan peserta didik dan pembangunan 
daerahnya, dan (e) perhitungan dan perimbangan waktu yang diperlukan.
F. Model Kurikulum Berorientasi Kecakapan Hidup
Pengembangan kurikulum yang berorientasi kecakapan hidup harus 
menggambarkan aspek-aspek (1) kompetensi yang relevan untuk dikuasai 
peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai dengan tingkat 
perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran untuk menguasai 
kompoetensi, (4) fasilitas, alat, dan sumber belajar yang menunjang dan 
memadai, dan (5) kompetensi yang dapat diaktualisasikan dalam pola 
kehidupan peserta didik sehari-hari.
Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan 
pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik
 dalam membantu memecahkan problematika kehidupannya.
Sumber:
Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.







 
 Posts
Posts
 
 
 7:23 AM
7:23 AM
 Ade Suherman
Ade Suherman
 
 
0 comments:
Post a Comment
Bagi Pengunjung dan mengambil data dari Blog ini, Untuk Perbaikan artikel-artikel di atas DIWAJIBKAN BERKOMENTAR, Trms..Wassalam