13 November 2021

Model-Model Pengembangan Kurikulum dan Pelaksanaannya

A. Model Pengembangan Kurikulum Menurut Robert S. Zais
Robert S. Zais (1976 dalam Arifin 2011: 137-143) mengemukakan delapan model pengembangan kurikulum. Dasar teoretisnya adalah institusi atau orang yang menyelenggarakan pengembangan, pengambilan keputusan, penetapan ruang lingkup kegiatan yang termuat dalam kurikulum, realitas implementasinya, pendekatan permasalahan dengan cara pelaksanaannya, penelitian sistematis tentang masalahnya, dan pemanfaatan teknologi dalam pengembangan kurikulum. Model-model tersebut adalah sebagai berikut.

1. The Administrative (Line-Staff) Model
Model ini menggunakan prosedur “garis-staf” atau garis komando “dari atas ke bawah” (top-down). Maksudnya, inisiatif pengembangan kurikulum berasal dari pejabat tinggi (Kemdiknas), kemudian secara structural dilaksanakan di tingkat bawah. Dalam model ini pejabat pendidikan membentuk panitia pengarah (steering commitee) yang biasanya terdiri atas pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan guru-guru inti. Panitia pengarah ini bertugas merumuskan rencana umum, prinsip-prinsip, landasan filosofis, dan tujuan umum pendidikan.
Selanjutnya mereka membentuk kelompok-kelompok kerja sesuai keperluan. Anggota-anggota kelompok kerja umumnya terdiri atas guru-guru dan spesialis-spesialis kurikulum. Tugasnya adalah merumuskan tujuan kurikulum yang spesifik, menyusun materi, kegiatan pembelajaran, sistem penilaian, dan sebagainya sesuai dengan kebijakan steering committee. Hasil pekerjaannya direvisi oleh panitia pengarah. Jika dipandang perlu akan diadakan uji coba untuk meneliti kelayakan pelaksanaannya. Hal ini dikerjakan oleh suatu komisi yang ditunjuk oleh panitia pengarah dan keanggotaannya terdiri atas sebagian besar kepala-kepala sekolah. Apabila pekerjaan itu telah selesai, diserahkan kembali kepada panitia pengarah untuk ditelaah kembali, baru kemudian diimplementasikan.

2. The Grass-Roots Model
Inisiatif pengembangan kurikulum model ini berada di tangan guru-guru sebagai pelaksana kurikulum di sekolah, baik yang bersumber dari satu sekolah maupun dari beberapa sekolah sekaligus. Model ini didasarkan pada dua pandangan pokok. Pertama, implementasi kurikulum akan lebih berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah sejak semula terlibat secara langsung dalam pengembangan kurikulum. Kedua, pengembangan kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang profesional (guru) saja, tetapi juga siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum ini, kerja sama dengan orang tua murid dan masyarakat sangat penting.
Model grass-roots ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu (a) kurikulum akan bertambah baik jika kemampuan profesional guru bertambah baik, (b) kompetensi guru akan bertambah baik jika guru terlibat secara pribadi dalam merevisi kurikulum, (c) jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi, mendefinisikan dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil, maka hasil pengembangan kurikulum akan lebih bermakna, (d) hendaknya di antara guru-guru terjadi kontak langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu consensus tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.

3. The Demonstration Model
Model ini dikembangkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kurikulum dalam skala kecil. Dalam pelaksanaannya, model ini menuntut sejumlah guru dalam satu sekolah untuk mengorganisasikan dirinya dalam memperbarui kurikulum. Menurut Smith, Stanley, dan Shores, model deminstrasi terdiri atas dua bentuk. Bentuk pertama yang cenderung bersifat formal. Sekelompok guru diorganisasi dalam suatu sekolah secara terpisah untuk mengembangkan projek percobaan kurikulum. Inisiatif dan organisasi kurikulum berasal dari atas. Bentuk kedua yang dianggap kurang formal. Guru-guru yang kurang puas dengan kurikulum membuat eksperimen dalam area tertentu. Mereka bekerja secara tidak terstruktur. Jika eksperimen berhasil akan diadopsi penggunaannya di seluruh sekolah.
Keuntungan model ini adalah (a) karena kurikulum telah dilaksanakan secara nyata, maka dapat memberikan alternative yang dapat bekerja, (b) perubahan kurikulum pada bagian tertentu lebih muda disepakari dan diterima daripada perubahan secara keseluruhan, (c) mudah untuk mengatasi hambatan, dan (d0 menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan narasumber. Kelemahan kurikulum ini adalah dapat menimbulkan antagonism guru-guru yang tidak terlibat dalam proses pengembangan.

4. Beauchamp’s System Model
Ada lima langkah kritis dalam pengambila keputusan pengembangan kurikulum menurut Beauchamp (1975 dalam Arifin 2011: 140), yaitu (a) menentukan arena pengembangan kurikulum (bisa berupa kelas, sekolah, system persekolahan regional atau system pendidikan nasional, (b) memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum nyang terdiri atas spesialis kurikulum, perwakilan kelompok-kelompok profesional dan guru-guru kelas yang terpilih, semua tenaga profesional yang ada dalam system sekolah tersebut, dan kelompok masyarakat yang representatif, (c) pengorganisasian dan penentuan prosedur perencanaan kurikulum yang meliputi menetapkan tujuan kurikulum, memilih materi pelajaran, mengembangkan kegiatan pembelajaran, dan mengembangkan desain, (d) pelaksanaan kurikulum secara sistematis, dan (e) evaluasi kurikulum.

5. Taba’s Inverted Model
Model ini dimulai dengan melaksanakan eksperimen, diteorikan, kemudian diimplementasikan. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan antara teori dan praktik, serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan kurikulum sebagaimana sering terjadi apabila dilakukan tanpa kegiatan eksperimental.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum menurut Hilda Taba, yaitu (a) kelompok guru terlebih dahulu menghasilkan unit-unit kurikulum untuk dieksperimenkan, (b) uji coba unit-unit eksperimen untuk menemukan validitas dan kelayakan pembelajaran, (c) merevisi hasil uji coba dan mengonsolidasikan unit-unit kurikulum, (d) mengembangkan kerangka kerja teoretis, dan (e) pengasemblingan dan deseminasi hasil yang telah diperoleh.

6. Roger’s Interpersonal Relations Model
Model ini berasal dari seorang psikolog yaitu Carl Rogers. Dia berasumsi bahwa kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif terhadap situasi perubahan.
Langkah-langkah dalam model ini adalah (a) memilih suatu sasaran administrator dalam sistem pendidikan dengan syarat bahwa individu yang terlibat hendaknya ikut aktif berpartisipasi dalam kegiatan kelompok secara intensif agar mereka dapat berkenalan secara lebih akrab, (b) mengikutsertakan guru-guru dalam pengalaman kelompok secara intensif, (c) mengikutsertakan unit kelas dalam pertemuan lima hari, (d) menyelenggarakan pertemuan secara interpersonal antara administrator, guru, dan orang tua peserta didik, (e) pertemuan vertical yang mendobrak hierarki, birokrasi, dan status sosial.

7. The systematic Action-Research Model
Tiga faktor utama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini adalah adanya hubungan antarmanusia, organisasi sekolah dan masyarakat, serta otoritas ilmu.
Langkah-langkah dalam model ini adalah (a) merasakan adanya masalah dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam, (b) mengidentifikasi factor-faktor apa saja yang memengaruhinya, (c) merencanakan secara mendalam bagaimana pemecahannya, (d) menentukan keputusan-keputuasn apa yang perlu diambil sehubungan dengan masalah tersebut, (e) melaksanakan keputusan yang telah diambil dan menjalankan rencana yang telah disusun, (f) mencari fakta secara meluas, dan (g) menilai tentang kekuatan dan kelemahannya.

8. Emerging Technical Model
Model teknologis ini terdiri atas tiga variasi model, yaitu model analisis tingkah laku, model analisis sistem, dan model berdasarkan komputer.
Model analisis tingkah laku memulai kegiatan dengan jalan melatih kemampuan anak mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks secara bertahap. Model analisis sistem memulai kegiatannya dengan jalan menjabarkan tujuan-tujuan secara khusus (output), kemudian menyusun alat-alat ukur untuk menilai keberhasilannya, selanjutnya mengidentifikasi sejumlah factor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraannya. Model berdasarkan komputer memulai kegiatannya dengan jalan mengidentifikasi sejumlah unit kurikulum lengkap dengan tujuan-tujuan pembelajaran khususnya. Setelah itu, guru dan murid diwawancarai tentang pencapaian tujuan-tujuan tersebut dan data itu disimpan dalam komputer untuk dimanfaatkan dalam menyusun materi pembelajaran untuk murid.

B. Model Kurikulum yang Berorientasi pada Tujuan
Model kurikulum yang berorientasi pada tujuan (goal-oriented curriculum) telah digunakan di Indonesia dan berlaku secara efektif sampai tahun 2003. Kebaikan-kebaikan model ini antara lain (1) tujuan yang akan dicapai jelas bagi penyusun kurikulum, (2) tujuan-tujuan tersebut akan memberikan arah yang jelas dalam menetapkan materi pelajaran, metode, jenis-jenis kegiatan, dan alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan, (3) tujuan-tujuan itu akan memberikan arah dalam melakukan penilaian terhadap proses dan hasil yang dicapai, dan (4) hasil evaluasi yang berorientasi pada tujuan tersebut akan membantu pengembang kurikulum dalam melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

C. Model Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum) , yaitu suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan dan penguasaan kompetensi bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, orang tua, dan masyarakat, baik untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, memasuki dunia kerja, maupun sosialisasi dengan masyarakat.
Dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah (1) kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks, (2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten, (3) kompetensi merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran, (4) keandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur, (5) kompetensi berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya, dan (6) kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan peserta didik dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah, sekaligus menggambarkan kemajuan peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran pada periode tertentu.

D. Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri atas tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indicator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
KTSP dikembangkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut.
(1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
(2) Beragam dan terpadu
(3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
(4) Relevan dengan kebutuhan hidup
(5) Menyeluruh dan berkesinambungan
(6) Belajar sepanjang hayat
(7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

E. Model Kurikulum Bermuatan Lokal
Kurikulum bermuatan lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang disusun oleh satuan pendidikan sesuai dengan keragaman potensi daerah, karakteristik daerah, keunggulan daerah, kebutuhan daerah, dan lingkungan masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pengembangan muatan lokal dilakukan dengan kriteria (1) sesuai dengan tingkat perkembangan kemampuan fisik, sosial, dan mental peserta didik, (2) tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, (3) tidak bertentangan dengan upaya pelestarian lingkungan alam, sosial, dan budaya, (4) berguna bagi kehidupan peserta didik dan pembangunan daerahnya, dan (e) perhitungan dan perimbangan waktu yang diperlukan.

F. Model Kurikulum Berorientasi Kecakapan Hidup
Pengembangan kurikulum yang berorientasi kecakapan hidup harus menggambarkan aspek-aspek (1) kompetensi yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran untuk menguasai kompoetensi, (4) fasilitas, alat, dan sumber belajar yang menunjang dan memadai, dan (5) kompetensi yang dapat diaktualisasikan dalam pola kehidupan peserta didik sehari-hari.
Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam membantu memecahkan problematika kehidupannya.

Sumber:  

Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.

0 comments:

Post a Comment

Bagi Pengunjung dan mengambil data dari Blog ini, Untuk Perbaikan artikel-artikel di atas DIWAJIBKAN BERKOMENTAR, Trms..Wassalam


 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons