15 January 2010

Kajian manajemen pendidikan

KAJIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN

Oleh: Ade Suherman

A. Pendahuluan

Agenda pembangunan pendidikan suatu bangsa tidak akan pernah berhenti dan selesai. Ibarat patah tumbuh hilang berganti, selesai memecahkan suatu masalah, muncul masalah lain yang kadang tidak kalah rumitnya. Begitu pula hasil dari sebuah strategi pemecahan masalah pendidikan yang ada, tidak jarang justru mengundang masalah baru yang jauh lebih rumit dari masalah awal. Itulah sebabnya pembangunan bidang pendidikan tidak akan pernah ada batasnya. Selama manusia ada, persoalan pendidikan tidak akan pernah hilang dari wacana suatu bangsa. Oleh karena itu, agenda pembangunan sektor pendidikan selalu ada dan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat suatu bangsa. Bangsa

Indonesia tidak pernah berhenti membangun sektor pendidikan dengan maksud agar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki mampu bersaing secara global. Jika demikian halnya, persoalan unggulan kompetitif bagi lulusan suatu institusi pendidikan sangat perlu untuk dikaji dan diperjuangkan ketercapaiannya dalam proses belajar mengajar oleh semua lembaga pendidikan di negeri ini agar lembaga pendidikan yang bersangkutan mampu menegakkan akuntabilitas kepada lingkungannya. Untuk dapat melakukan hal-hal yang demikian, lembaga pendidikan perlu melakukan berbagai upaya ke arah peningkatan kualitas secara berkesinambungan. Tanpa ada peningkatan kualitas secara berkesinambungan, pembangunan pendidikan akan terjebak pada upaya sesaat dan hanya bersifat tambal sulam yang reaktif. Upaya yang demikian itu tidak akan mampu memecahkan persoalan pendidikan yang sedang dan akan kita hadapi pada era milenium III ini. Sebaliknya, agar sektor pendidikan mampu mendorong semua proses pemberdayaan bangsa, ia harus direncanakan dan diprogramkan secara sistematis dan proaktif. Untuk dapat melakukan hal ini, kita perlu melakukan upaya-upaya yang bersifat reflektif dan reformatif. Upaya yang bersifat reflektif perlu dilakukan agar kita tidak mengulang hal-hal yang keliru di masa lampau. Bukan itu saja, dengan upaya yang bersifat reflektif, akhirnya kita akan mampu memberi makna suatu program dan proses pendidikan secara lebih kontekstual. Dengan cara seperti itu, pada akhirnya institusi pendidikan dapat membumikan programnya untuk memberdayakan peserta didik. Bukan sebaliknya, peserta didik yang justru harus dikendalikan agar cocok dan sesuai dengan program serta proses yang telah ada di suatu institusi pendidikan. Kalau hal seperti itu sampai terjadi, pada akhirnya pendidikan akan terjebak pada kegiatan-kegiatan yang bersifat drilling. Kegiatan belajar yang demikian tidak akan mampu menolong peserta didik untuk mencari jati dirinya secara lebih mandiri. Akhirnya, peserta didik tidak akan mampu mengembangkan kemampuan imajinatif yang bermanfaat untuk menumbuhkan kreativitas yang inovatif. Upaya yang bersifat reformatif dalam proses pendidikan juga sangat diperlukan agar pendidikan kita tidak berjalan di tempat. Tujuan utama melakukan upaya yang bersifat reformatif dalam sektor pendidikan ialah untuk melakukan rekonstruksi sosial ke arah bentuk masyarakat madani ideal seperti yang dicita-citakan. Dengan upaya yang reformatif, semua praksis pendidikan yang bertentangan dengan proses demokratisasi kehidupan yang sehat, adil, dan berharkat, perlu disingkirkan. Dengan paradigma yang demikian itu, rekonstruksi sosial akan mampu membangun masyarakat menjadi masyarakat madani yang penuh dengan praktik-praktik kehidupan atas dasar kasih sayang antara sesama warga masyarakat secara egaliter. Makalah ini disusun untuk tujuan ikut serta memberikan bahan dan informasi kepada semua pihak yang memiliki komitmen terhadap pendidikan. Sudah tentu informasi yang tercakup dalam makalah ini bukanlah segala-galanya, komprehensif, serta mampu mewakili semua praksis kebijakan, dan pengembangan sektor pendidikan Dengan demikian, aspek-aspek penting dalam pendidikan yang akan mendapat sorotan dalam tulisan ini ialah kurikulum, siswa, guru, proses pembelajaran, dan partisipasi masyarakat.

B. Arah Kebijakan Manajemen Pendidikan

Sebagaimana dicatat dalam Encyclopedia Americana, manajemen merupakan "the art of coordinating the ele-ments of factors of production towards the achievement of the purposes of an organization", yaitu suatu seni untuk mengkoordinir sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sumber daya organisasi tersebut meliputi manusia(men), bahan baku(materials) dan mesin(machines). Koordinasi dimaksudkan agar tujuan organisasi bisa dicapai dengan efisien sehingga dapat memenuhi harapan berbagai pihak (stake-holders) yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi.

Pendidikan merupakan setiap proses di mana seseorang memperoleh pengetahuan (knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan (skills developments) atau mengubah sikap (attitude change). Pendidikan adalah suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal-hal tertentu sebagai akibat proses pendidikan yang diikutinya. Sebagai bagian dari masyarakat, pendidikan memiliki fungsi ganda yaitu fungsi sosial dan fungsi individual. Fungsi sosialnya untuk membantu setiap individu menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif masa lalu dan sekarang, sedangkan fungsi individualnya untuk memungkinkan seorang menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya untuk menghadapi masa depan (pengalaman baru). Fungsi tersebut dapat dilakukan secara formal seperti yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan, maupun informal melalui berbagai kontak dengan media informasi seperti buku, surat kabar, majalah, TV, radio dan sebagainya.

Kelahiran Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respons terhadap berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan: “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.” Moch. Surya (2004) menyatakan bahwa Undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional. Paradigma tersebut, antara lain :1. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilandasi dengan prinsip-prinsip berikut ini : a) Secara demokratis dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keagamaan, dan budaya bangsa.b) Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multi makna.c) Sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan yang berlangsung sepanjang hayat. d) Sebagai proses keteladanan membangun kemauan dan kreativitas dalam proses pembelajaran.e) Mengembangkan budaya belajar (baca, tulis, dan hitung) bagi segenap warga masyarakat.f) memberdayakan masyarakat melalui partisipasi dan pengendalian mutu layanan pendidikan.2. Demokratisasi dan desentralisasi sebagai semangat yang melandasi penyelenggaraan pendidikan nasional dengan lebih menekankan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah dalam keseluruhan aktivitas penyelenggaraan pendidikan. 3. Peran serta masyarakat sebagai konsekuensi demokratisasi pendidikan nasional maka masyarakat memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.4. Tantangan global, hal ini berimplikasi bahwa pendidikan nasional harus beradaptasi dengan perkembangan global yang menuntut sumber daya manusia yang lebih berkualitas dalam menghadapi persaingan global di segala bidang.5. Kesetaraan dan keseimbangan, bahwa Undang-undang Sisdiknas yang baru mengandung paradigma dengan menerapkan konsep kesetaraan dalam penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah memeiliki kesetaraan dengan satuan pendidikan yang dislenggarakan oleh masyarakat (swasta). Sedangkan yang dimaksud keseimbangan ialah keseimbangan yang utuh antara unsur-unsur kepribadian yang meliputi aspek intelektual, spiritual, emosional, fisik, sosial, moral, dan kultural.

Dari pengertian diatas, manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dsb untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan.

Tujuan pendidikan sebagaimana tertuang pada UU Nomor 2 tahun 1989 pasal 4, antara lain dirumuskan : "Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".

Manajemen juga dianggap sebagai seni, disebabkan oleh kepemimpinan memerlukan kharisma, stabilitas emosi, kewibawaan, kejujuran, kemampuan menjalin hubungan antara manusia yang semuanya itu banyak ditentukan oleh bakat seseorang. Kompetensi yang Harus Dimiliki Seorang Manajer / Kepala Sekolah dan Implementasinya dalam Mengelola Pendidikan Rencana Strategi Sekolah Unggulan dengan Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah

1. Konsep Quantum Teaching

Sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, ditemukan sebuah pendekatan pengajaran yang disebut dengan Quantum Teaching. Quantum Teaching sendiri berawal dari sebuah upaya Dr Georgi Lozanov, pendidik asal Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology. Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar.

Pada perkembangan selanjutnya, Bobbi DePorter (penulis buku best seller Quantum Learning dan Quantum Teaching), murid Lozanov, dan Mike Hernacki, mantan guru dan penulis, mengembangkan konsep Lozanov menjadi Quantum Learning. Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori. Antara lain sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik) dan pendidikan holistik.

Konsep itu sukses diterapkan di Super Camp, lembaga kursus yang dibangun de Porter. Dilakukan sebuah penelitian untuk disertasi doktroral pada 1991, yang melibatkan sekitar 6.042 responden. Dari penelitian itu, Super Camp berhasil mendongkrak potensi psikis siswa. Antara lain peningkatan motivasi 80%, nilai belajar 73% , meningkatkan harga diri 84% dan melanjutkan penggunaan keterampilan 98%.

Persamaan Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Fisika Quantum yaitu:

E = mc2

E = Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar,semangat)

M = massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik)

c = interaksi (hubungan yang tercipta di kelas)

Berdasarkan persamaan ini dapat dipahami, interaksi serta proses pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas dan antusiasme belajar pada peserta didik. Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.

Dalam Quantum Teaching bersandar pada konsep ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajaran dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar.

Dengan Quantum teaching kita dapat mengajar dengan memfungsikan kedua belahan otak kiri dan otak kanan pada fungsinya masing-masing. Penelitian di Universitas California mengungkapkan bahwa masing-masing otak tersebut mengendalikan aktivitas intelektual yang berbeda. Otak kiri menangani angka, susunan, logika, organisasi, dan hal lain yang memerlukan pemikiran rasional, beralasan dengan pertimbangan yang deduktif dan analitis. Bgian otak ini yang digunakan berpikir mengenai hal-hal yang bersifat matematis dan ilmiah. Kita dapat memfokuskan diri pada garis dan rumus, dengan mengabaikan kepelikan tentang warna dan irama.

Otak kanan mengurusi masalah pemikiran yang abstrak dengan penuh imajinasi. Misalnya warna, ritme, musik, dan proses pemikiran lain yang memerlukan kreativitas, orisinalitas, daya cipta dan bakat artistik. Pemikiran otak kanan lebih santai, kurang terikat oleh parameter ilmiah dan matematis. Kita dapat melibatkan diri dengan segala rupa dan bentuk, warna-warni dan kelembutan, dan mengabaikan segala ukuran dan dimensi yang mengikat.

2. Prinsip dari Quantum Teaching, yaitu:

1) Segalanya berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.

2) Segalanya bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita ajarkan.

3) Pengalaman sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep.

4) Akui setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun.

5) Jika layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.

Kerangka rancangan Belajar Quantum Teaching yang dikenal sebagai TANDUR :

TUMBUHKAN. Tumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat Bagiku”; (AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar;

ALAMI. Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar;

NAMAI. Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah “masukan”;

DEMONSTRASIKAN. Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk ‘menunjukkan bahwa mereka tahu”;

ULANGI. Tunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan , “Aku tahu dan memang tahu ini”;

RAYAKAN. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.

C. Manajemen Berbasis Sekolah

1. Keuntungan & Manfaat MBS

a) Dengan adanya MBS, sekolah dapat memiliki kemampuan untuk :
menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut.

b) mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan.

c) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya.

d) bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah.

e) persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.

2. Manfaat MBS bagi sekolah :

a) MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah.

b) Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang sekolah.

c) Pelaksanaan PAKEM (Pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau Pembelajaran Kontekstual dalam MBS, mengakibatkan peningkatan kehadiran anak di sekolah, karena mereka senang belajar.

3. Tujuan MBS:

Tujuan utama Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya MBS sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri.

1) Faktor-faktor yang diperhatikan

Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan. anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan. Implementasi MBS di lembaga pendidikan Indonesia, faktor-faktor penghambat, serta saran-saran sebagai pendidik. Impelementasi MBS di lembaga pendidikan Indonesia
Sebelum desentralisasi, beberapa sekolah di Indonesia sudah melaksanakan proses Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara mandiri dan mereka mampu mengatasi banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan sekolah secara internal. Sekolah-sekolah ini disebut sebagai pelopor, dan perkembangannya sebenarnya cukup hebat. Kepala sekolah juga termasuk berani kalau kita melihat keadaan lingkungan dan paradigma sistem manajemen pendidikan saat itu.

Sekarang, di beberapa propinsi di Indonesia mulai dapat dilihat kemampuan sebenarnya dari MBS karena dukungan yang diberikan dari Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan. Transformasi yang dilaksanakan luar biasa. Proses MBS tidak dapat disebut baru di Indonesia, tetapi pelaksanaan sekarang dibuktikan dapat mengubah kebudayaan dan sistem supaya pengembangannya menjadi efektif dan "sustainable".

Program MBS ini akan diterapkan di 20 sekolah SD-MI dan SLTP-MTs di setiap kabupaten program MBE. Harapan kami, apabila program ini berhasil dapat disebarluaskan ke semua sekolah di kabupaten masing-masing.
Kegiatan program MBS yang dilakukan di daerah meliputi hal-hal berikut:

a) Pelatihan tim pelatih tingkat kabupaten.

b) Pelatihan sekolah dan masyarakat (kepala sekolah, guru dan masyarakat).

c) Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) dan RAPBS oleh sekolah dan masyarakat.

d) Pelatihan untuk guru, termasuk pendampingan langsung di kelas oleh pelatih.

2) Faktor-faktor penghambat

a) Pemerintah
MBS perlu ditunjang dengan dana operasional sekolah, agar rencana yang dibuat oleh sekolah dan masyarakat dapat dilaksanakan. Saat ini dana yang diterima sekolah dari APBD pada umumnya sangat minim. Sekolah lebih banyak menerima dana dari Komite Sekolah. Jumlah dana dari APBD yang diberikan kepada sekolah secara langsung sangat perlu ditingkatkan.

b) Manajemen Sekolah

Manajemen sekolah cenderung pasif dan belum melibatkan semua pihak terkait termasuk masyarakat dan keuangan sekolah sering kurang transparan.

c) Peran Serta Masyarakat

Peran Serta Masyakat terbatas sebagian besar pada pengumpulan dana untuk sekolah. Belum terlibat dalam manajemen sekolah maupun menunjang kegiatan belajar mengajar secara langsung.

d) Kegiatan Belajar Mengajar

1) Lebih-kurang 60% waktu anak mendengarkan guru atau menonton anak mengerjakan tugas di papan tulis jarang ada kerja praktik.

2) Pengaturan bangku dan kursi selalu tradisional.

3) Anak lebih banyak menyalin tulisan dari papan tulis dan menjawab pertanyaan yang ditulis guru atau dari buku paket - belum ada pertanyaan yang mengungkapkan pikiran siswa dengan kata-kata sendiri

4) Perpustakaan teratur dengan baik tetapi jarang dimanfaatkan anak - bahkan ada buku yang dikunci di almari

D. Sistem Pendidikan (Kajian Analisis Kritis Antara Harapan dan Kenyataan)

1. Kurikulum

Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya peran kurikulum, maka kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana kurikulum.Pada kenyataannya, sementara pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Jika demikian adanya, maka dinamika PBM serta kreativitas guru dan murid akan terhenti. Guru dan murid hanya terhenti pada sasaran materi yang dicanangkan pada buku kurikulum itu saja tanpa memperhatikan aspek lain yang telah berkembang begitu cepat di masyarakat. Di lain pihak memang ada yang memandang kurikulum dalam arti luas, yaitu kurikulum yang menyangkut semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan, baik formal maupun informal guna mencapai tujuan pendidikan.Beane (1986) membagi kurikulum dalam empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa. Hal ini seiring dengan pendapat Said Hamid Hasan (1988) yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, (b) kurikulum sebagai rencana tertulis, (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar.Kurikulum sekolah kita dalam arti produk masih mengandung banyak kerancuan. Sekolah-sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA serta SMK memiliki kurikulum yang amat sarat dengan mata pelajaran. Dampak nyata yang terlihat ialah daya serap peserta didik tidak optimal dan mereka cenderung belajar tentang banyak hal, tetapi dangkal. Kurikulum 1975 dirasakan amat membengkak dan sangat gemuk di samping kurikulum tersebut dalam arti program terlalu berorientasi pada produk belajar, bukannya proses belajar. Kemudian kurikulum itu direvisi lagi dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon telah mementingkan proses belajar dan perampingan. Namun perampingan itu juga tidak tuntas, sehingga ada komentar bahwa Kurikulum 1984 itu ramping, tetapi “montok”. Akibatnya juga mengundang rendahnya daya serap para peserta didik.Persoalan lain yang dianggap cukup urgen dalam kurikulum ialah tumpang tindih baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertical materi di kelas satu muncul lagi di kelas dua atau kelas tiga untuk mata pelajaran yang sama. Sedangkan secara horizontal muncul berbagai pokok bahasan yang sama pada beberapa mata pelajaran yang berbeda. Kesemuanya itu tentu tidak akan menguntungkan bila dilihat dari proses belajar mengajar, peserta didik akan merasa jemu untuk mengikutinya.Masalah berikutnya yang berkaitan dengan aspek kurikulum dalam arti proses belajar dan pengalaman belajar memiliki kaitan yang erat dengan perilaku guru di depan kelas dalam konteks belajar mengajar. Kurikulum dalam arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu proses membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint yang telah disiapkan seorang arsitektur, blueprint tersebut akan tidak bermakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di lokasi gedung itu akan didirikan. Analog ini, kurikulum masih memerlukan intervensi dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas.

2. Siswa

Wajib belajar sembilan tahun telah menjadi agenda nasional yang amat penting, hal ini memang memiliki alasan dan legitimasi yang amat strategik. Suyanto (2000) menyatakan bahwa “angkatan kerja kita saat ini sebagian besar, kurang lebih 76 %, hanya memiliki pendidikan tidak lebih dari sekolah dasar.” Kondisi seperti ini cukup mencemaskan jika harus bersaing secara global dalam berbagai aspek kehidupan. Kita tidak dapat lagi menjadikan jumlah penduduk yang besar dengan upah yang murah sebagai salah satu daya tarik investor asing untuk ikut menanamkan modal di Indonesia. Justru kualitas penduduk yang perlu dijadikan sebagai daya tarik bagi para investor asing untuk memasuki Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena pada abad ke-21, ciri penting pola hubungan antarnegara dan bangsa ialah adanya interdependensi satu sama lain. Jika kita tidak dapat menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi maka kita akan banyak mengalami kerugian dalam pola hubungan antarbangsa seperti itu.Permasalahan yang ada bahwa wajib belajar sembilan tahun hanya enak diucapkan, didengar, disemboyankan, apalagi dinyanyikan. Sebagian besar bangsa ini tentu mengetahui makna wajib belajar sembilan tahun, Akan tetapi, belum tentu semua warga Negara di republic tercinta ini sadar akan arti penting wajib belajar bagi kehidupan global bangsa di abad ke-21. Oleh karena itu, wajib belajar sembilan tahun perlu diimplementasikan dengan berbagai strategi yang terpadu dan tersistematis secara rapi. Pendekatan melalui jalur pendidikan sekolah saja belum tentu menjamin keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Mengapa demikian ? Karena wajib belajar tidak semata-mata berurusan dengan pembebasan SPP untuk para pelajar sampai dengan tingkat SMP. Namun jauh lebih rumit sebab berurusan dengan faktor-faktor lainnya seperti arti ekonomi anak bagi orang tua terhadap pendidikan, aspirasi pendidikan masyarakat, budaya masyarakat, dan sebagainya.Masalah berikutnya adalah masalah yang merupakan dampak negative dari perkembangan ilmu dan teknologi terhadap anak-anak pada era globalisasi ini. Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai adanya semangat globalisasi akan membawa perubahan cara hidup masyarakat. Dalam perubahan itu anak-anak tidak sedikit yang menderita. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh anak-anak Indonesia menjadi semakin beragam. Anak-nak Indonesia akan mengalami krisis idola nasional sebagai akibat begitu meledaknya teknologi komunikasi lewat TV yang bersifat global. Lebih parahnya lagi lahan tempat bermain anak-anak menjadi semakin sempit, bahkan di kota-kota besar anak-anak memang telah mengalami kesulitan untuk mencari tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain. Masalah lainnya yang berkaitan dengan siswa adalah masalah siswa yang memiliki kemampuan luarbiasa. Dalam UUSPN anak-anak yang memiliki bakat istimewa, yaitu mereka yang super pintar memang memperoleh jaminan untuk bisa diperlakukan atau dididik secara khusus. Pasal 8 ayat (2) dari UUSPN menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luarbiasa berhak memperoleh perhatian khusus.” Namun demikian, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal (2) tersebut masih harus ditetapkan dengan keputusan menteri. Inilah yang perlu segera diperhatikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, agar system pendidikan kita segera bisa memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa.

3. Guru

Berkaitan dengan kualitas guru ini, Raka Joni (1980) mengemukakan adanya tiga dimensi umum yang menjadi kompetensi tenaga kependidikan, antara lain :

1) Kompetensi personal atau pribadi, maksudnya seorang guru harus memeiliki kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

2) kompetensi professional, maksudnya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.

3) Kompetensi kemasyarakatan, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi baik dengan isswa, sesame guru, maupun masyarakat luas.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya program penataran. Penataran yang selama ini dilakukan dalam berbagai bentuk dan materi memang memiliki legitimasi akademik yang tinggi di bawah paradigma in-service-training, namun demikian, sebenarnya penataran itu saja masih belum mampu melakukan intervensi secara makro terhadap perbaikan praksis pendidikan. Indikator yang paling mudah diketahui ialah masih rendahnya nilai ujian nasional. Fenomena itu menggambarkan bahwa hasil penataran tidak bias diadopsi oleh guru kita pada proses pembelajaran di kelas. Memang banyak guru yang pada waktu ditatar menunjukkan prestasi yang baik dan menakjubkan, tetapi setelah pulang ke sekolah mereka kembali pada praktik lama, yaitu tidak mau menerapkan hasil penataran pada proses pembelajaran di kelas masing-masing. Keengganan menerapkan hasil penataran merupakan gejala umum bagi guru di mana saja dan di jenjang pendidikan mana pun, Hal ini terjadi karena materi penataran sebenarnya tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan para guru.

4. Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran yang ideal adalah proses pembelajaran yang dikemas dengan memperhatikan adanya berbagai aspek baik itu kognitif, afektif, maupun psikomotor. Apabila proses pendidikan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan adanya kesimbangan ketiga aspek tersebut maka output pendidikan akan mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan masyarakat. Sebaliknya, apabila proses pembelajaran mengabaikan aspek-aspek tersebut dan hanya menitikberatkan pada aspek kognitif saja, jadinya akan lain. Jangan diharap output pendidikan mampu menterjemahkan serta merta mengantisipasi kemajuan dan perkembangan masyarakat yang telah berjalan demikian cepat. Oleh sebab itu, pendidikan kita harus mampu mengemas proses pendidikan dengan baik. Dengan kata lain, proses belajar mengajar kita harus memperhatikan aspek kreativitas. Pengembangan kreativitas para peserta didik yang dimulai sejak awal akan mampu membentuk kebiasaan cara berpikir peserta didik yang sangat bermanfaat bagi peserta didik itu sendiri di kemudian hari.Kenyataan yang ada saat ini, hampir semua system sekolah yang ada di negeri ini kurang menyentuh dan mengembangkan aspek kreativitas. Ini terjadi akibat tuntutan kurikulum 1975 yang sangat berorientasi pada hasil belajar. Kurikulum tersebut akhirnya diperbaiki, kemudian muncul kurikulum 1984 yang sedikit bergeser orientasinya kearah proses. Namun, praksis pendidikan telanjurt memihak pada orientasi produk. Oleh karena itu, pergeseran orientasi itu tidak semudah yang dibayangkan para pengambil kebijakan dalam sistem persekolahan kita.Kurikulum 1994 secara filosofis sangat menaruh perhatian terhadap proses pembelajaran yang dinamis sehingga system target dan produk harus diterjemahkan secara kreatif dan kontekstual. Namun, pada kenyataannya sebagian besar guru telah merasa mapan dengan semangat kerja model kurikulum 1984, guru telanjur mekanistis dalam proses pembelajaran di sekolah, akhirnya persoalan kreativitas masih saja terabaikan tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena terlalu saratnya muatan yang diemban oleh kurikulum 1994. Dengan demikian hal pokok yang dikembangkan tetap aspek kognitif, sementara afektif dan psikomotor tetap terabaikan.

5. Partisipasi Masyarakat

UUSPN pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat sehingga pendidikan tetap memiliki keterkaitan dengan kondisi dan tuntutan masyarakat. Sementara untuk mewadahi peran serta masyarakat dibentuklah satru institusi yang bersifat independent dengan dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, sementara untuk tingkat persekolahan dikenal dengan istilah komite sekolah.Peran serta masyarakat yang berbentuk yayasan nirlaba telah bias dilihat dengan nyata dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan baik di tingkat dasar, menengah, maupun pendidikantinggi. Suyanto (2000) menyatakan saat ini paling tidak yayasan-yayasan pendidikan yang ada dalam masyarakat telah mampu mendirikan sekolah dasar swasta sebanyak 10.120, SLTP, SMA, dan SMK sebanyak 57.554. Namun angka-angka tersebut tidak serta merta memberikan hal yang membahagiakan kita sebab masih terdapat kecenderungan bahwa penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah-sekolah swasta tersebut masih belum memenuhi kualitas yang diharapkan.Dengan demikian, untuk melibatkan peran serta masyarakat pengusaha harus diawali dari proses sosialisasi yang positif. Pemerintah perlu meyakinkan bahwa dengan ikut serta dalam pengembangan system pendidikan nasional, para pengusaha juga akan memetik keuntungan berupa sumber daya manusia yang berkualitas bagi perusahaan mereka.

Diharapkan adanya manajemen sekolah yang terbuka
Rencana Pengembangan Sekolah dibuat bersama-sama oleh sekolah dan masyarakat, dipajangkan secara terbuka, diperbaharui setiap tahun, dan dilaksanakan. Anggaran sekolah terpadu telah dibuat dan dipajangkan
Meningkatkan peran serta masyarakat
, peningkatan peran serta masyarakat dalam hal:

1) Meningkatkan kondisi lingkungan sekolah

2) Mendukung pembelajaran anak

3) Orang tua membantu di kelas

4) Pelaksanaan alokasi APBN dan APBD untuk pendidikan sebesar 20 %

E. Referensi

Ahmad Ali Riyadi, Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Ar-ruz, 2006), hlm. 215

Zamakhsyari Dhofier, K.H. Hasyim Asy’ari, Penggalang Islam Tradisional,(Jakarta : Prisma , 1984), hlm. 23

Fatah Syukur, Madrasah dan Pemberdayaan Peran Masyarakat, download dalam situs http://citraedukasi.blogspot.com/2008/01/madrasah-dan-peran-masyarakat.html, 22 Desember 2008, pkl. 12.30

Munawar M. Saad, Pembaharuan Pendidikan di Madrasah, download dalam situs http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=140542, pkl. 13.00

Raharjo, Madrasah Sebagai The Centre Of Excellence, download dalam http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php, tanggal 24 Desember 2008, pkl. 14.00 wib

Mundzir Suparta dan Amin Haedari, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2004), hlm. 72

Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Kencana Groups, 1997), hlm. 120

4 comments:

drd17 said...

good article....and than i like....

dezi said...

bagus banget yeh pagrang na aya wae siiip sukses selalu

dezzzzzi said...

suksek selalu ...wah bagus banget blog nya boleh dong saya ikuti blognya Ok

nuraeni said...

artikelnya
bermanfaat
thank's..

Post a Comment

Bagi Pengunjung dan mengambil data dari Blog ini, Untuk Perbaikan artikel-artikel di atas DIWAJIBKAN BERKOMENTAR, Trms..Wassalam


 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons