Otonomi secara etimologi berasal dari kata “autos“ yang berarti sendiri, an “nomos” yang berarti aturan, Jadi otonomi dapat diartikan mengatur sendiri, tonomi juga bisa diartikan kebebasan atau kemerdekaan. Sekolah artinya tempat untuk melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar. Jadi Otonomi Sekolah adalah merupakan kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sekolah dan stakeholder lainnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip yang harus dipegang dalam pelaksanaan otonomi sekolah adalah mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pembelajaran sendiri, baik dari segi keuangan, sarana prasarana maupun Kepentingan/kebutuhan pendidikan yang lain. Wujud pemberian kesempatan bagi sekolah harus dipertanggungjawabkan kepada yang memberi wewenang, masyarakat terutama kepada Tuhan YME.
Undang-undang no. 22 tahun 1999 yang dirubah dengan Undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang otonomi Daerah adalah sebagai landasan diberlakukannya Otonomi Daerah di seluruh Indonesia. Dengan demikian imbasnyapun sampai terasa di sekolah-sekolah. Adapun kemasan otonomi sekolah itu terlintas sebagai berikut :
1) Terhadap RAPBS terbuka mulai tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, untuk diprogram dilaksanakan, dikaji dan dikritisi dengan bukti autentik bahkan pembukuannyapun harus transparan.
2) Program Sekolah harus dibuat, dilaksanakan, dan dikritisi oleh Kepala Sekolah sendiri, guru, orang tua siswa, Komite, Pengurus Sekolah bahkan oleh Stakeholder yang lain.
3) Program Komite Sekolah harus dibuat, dilaksanakan, juga dikritisi dan harus selalu dipampang untuk ditunjukkan dan dievaluasi oleh masyarakat sekolah.
Dampak otonomi sekolah (Ibid. 1999) meliputi:
1) Tercipta Suasana kondusif, enovatif dan berkesinambungan
2) Selalu terjadi konsepsional kinerja ke depan.
3) Tidak menunggu perintah atau ultimatum jajaran lintas kependidikan.
4) Bebas dalam koridor prinsip kependidikan.
5) Masyarakat ikut merasa memiliki sekolah.
6) Ada semangat yang tinggi dalam kompetisi tingkat kelas, maupuan sekolah.
7) Hubungan antar orang tua siswa makin akrab dan harmonis.
8) Termotivasi untuk memprogram kelas unggulan.
9) Wali murid dan Komite Sekolah berhak ikut urun rembug dalam menentukan tenaga-tenaga yang profesional di sekolah.
10) Tercipta upaya kebersamaan, tanggung jawab antar pilar pendidikan (PAKEM, transparansi managemen, otonomi sekolah dan PSM) sebagai bagian akuntabilitas sekolah.
Transparansi managemen sekolah keterbukaan adalah modal dan wacana baru di era reformasi dan otonomi daerah khususnya di bidang pendidikan. Untuk itu jika timbul faktor-faktor penghambat keterbukaan yang sedang berjalan adalah rentan untuk bergejolak, tajam kritik, sulit diajak maju adalah merupakan problematika sekolah yang harus segera ditangani. Maka diperlukan sikap kontinue, ajeg dalam mengadakan pendekatan 3K yaitu koordinasi, konsultasi dan komunikasi agar tercipta transparansi yang alamiah.
Desentralisasi pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) merupakan satu bentuk de¬sentralisasi yang menuntut otonomi sekolah. Sesuai dengan pendapat salim dalam http://sambasalim.com/pendidikan/otonomi-sekolah-dan-mbs.html, beberapa urusan yang secara langsung dapat diserahkan kepada sekolah sebagai perwujudan dari otonomi sekolah adalah sebagai berikut:
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tu¬juan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah.
Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga adminis-tratif yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendu¬kung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima, syarat siswa yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota perlu mendapat kan pertimbangan secara bijak.
Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertim-bangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum.
Keempat, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dsb. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Provinsi dan kabupaten/kota.
Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa itu sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah.
Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.
Agar sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendi¬dikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan prog¬ram yang sistematis dengan melakukan “capacity building“. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pem¬belajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut di atas. Namun, kegiatan “capacity building” tersebut perlu dilakukan secara sistematis, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan, mempunyai arah yang jelas dan terukur. Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Jadi, capacity building dilakukan untuk meningkatkan (upgrade) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap per¬kembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap pra. Satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumber sumber pendidikan (mi¬salnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dsb.) yang memadai untuk menyelenggarakan pela¬yanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuan¬nya, satuan-satuan pendidikan ini perlu dileng¬kapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu Tahap Formalitas.
2. Tahap Formalitas; satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administratur (seperti kepala seko¬lah) dan pelaksana pendidikan (seperti guru¬-guru, instruktur, tutor, dsb.) agar dapat melak¬sanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses pembela¬jaran yang kreatif dan inovatif jika pengem¬bangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan, maka satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan mini¬mum tingkat sekolah, terutama yang menyangkut ukuran-ukuran output pendidikan seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan pengulangan kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
3. Tahap Transisional; satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang. sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti ke¬mampuan mendayagunakan sumber-sumber pen¬didikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional selanjutnya dapat dinaikkan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Otonom (Meaning).
4. Tahap Otonom; satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian ca¬pacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan menuju pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu mem¬berikan pelayanan di atas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimum) dan akan bertang¬gungjawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.
Dari tahap-tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut sebagai berikut.
1. Terhadap kelompok satuan pendidikan pada Tahap Pra-formal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya memperlengkapi satuan-satuan pendidikan dengan sarana¬ prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal tetapi memadai untuk dapat mencapai Tahap perkembangan berikutnya.
2. Terhadap kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai Standar teknis (Tahap Formalitas), strategi capacity building dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan pengembangan kemam¬puan tenaga kependidikan, seperti kepala sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran yang paling efektif jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai ke¬mampuan ini, mereka dapat ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transi¬sional.
3. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai Tahap Transisional, perlu dikembangkan sistem manajemen berbasis sekolah yang didu¬kung oleh partisipasi masyarakat dalam pendi¬dikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, par¬tisipasi masyarakat dan akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan, maka satuan-satuan pen¬didikan sudah dapat dinaikkan kelasnya ke Tahap Otonomi.
4. Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan sistem indikator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan standar minimal pelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sistem indikator ini perlu didukung oleh sistem pendataan pendidikan yang akurat, relevan, lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dan dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan sejak tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi sampai dengan tingkat nasional.
Sumber
Adib, Wahid, 2007, Tesis, Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Iklim Kerja Terhadap Prestasi Kerja Guru Aliyah Negeri Purwokerto.
Champman, Judith. (1990). School-Based Decision Making and Management. London UK: The Palmer Press
Cheng, Yin Choeng. (1996). School Effectiveness and School Based Management. Washington USA: The Falmer Press
Dinas Propinsi Jawa Barat. (2003). Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat. Bandung: Dinas Propinsi Jawa Barat
Dit. PLP. (2001). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep dan Pelaksanaan. Buku 1. Jakarta: Dit SLTP Depdiknas
Fattah, Nanang (2004). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Fiedler, Fred E. and Charmers, Martin M.1974. Leadership and EffectiveManagement. Glenview Illionis: Scott, Foresman and Company.
Hersey dan Blanchard,1989. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Johns, Gary.1988, Organizational Behavior; Understanding Life at Work . Dallas: Scott.
Johnson, Lois V. and Mary A. Bany (1970) Classoom Management. London : The Macmilan Company.
Mulyasa, 2003 : Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : ROSDA
Mulyasa, 2003.Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK.PT Remajarosdakarya. Bandung.
Mulyasa, 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, PT Remaja Rosdakarya Bandung
Nawawi, H Hadari,2000, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif, Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Reynolds, Larry J. (1997). Successful Site Based Management, a Practical Guide (Revised Edition). California: Crowin Press, Inc. A Sage Publications Company Thousand Oaks
Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi. Terjemahan Oleh Pujaatmaka. 1996. Jakarta: PT Prenhallindo.
Rumtini. Jiyono. 1999. “Manajemen Berbasis Sekolah”. Konsep dan Kemungkinan Strategi Pelaksanaannya di Indonesia”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni Tahun Ke 5 No. 017. Hal. 77-101.
Soekarto, I. (1994) Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang Baik. Jakarta : Gahlia Indonesia
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Suryadi, Ace dan Mulyana, Wiana. 1993. Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru. Jakarta: Cardimas Metropole.
Sutarto. 1995. Dasar - Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutrisno Hadi. (2000). Metodologi Research, Jilit 1,2,3,dan 4 Yogyakarta:Penerbit Andi.
Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat. 2003. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Usman, Uzer (1990). Menjadi Guru yang Professional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Usman, Uzer dan Setiawati, (2003). Upaya Obtimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya.
Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wohlstetter Priscilla, Ani N. Van Kirk, Peter J. Robertson, dan Susan A. Mohrman. (1997). Organizing for Successful School Based Management. Alexandria Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development
Wohlstetter, Priscilla and Mohrman, Susan Albert (1996). Assessment of School Based Management Studies of Education Reform. US Department of Education Office of Education Research and Improvement. [Online].
Yukl, Gary A.. 1981. Leadership In Organization. New York: Prentice-Hall Inc.
Dokumen:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Panduan Manajemen Sekolah,
Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Departemen PendidikanNasional. (2002) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, buku I, Jakarta ; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Departemen Pendidikan Nasional (2000) Bekerja dengan Guru, Buku Utama. Dirjen Dikdasmen. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2003) Undang Undang RI. No: 20 Tahun 2003. Tentang Sistim Pendidikan Nasional.
Depdiknas, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
Undang Undang RI. No: 20 Tahun 2003. Tentang Sistim Pendidikan Nasional. Depdiknas. Jakarta.
Undang Undang RI. No: 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Depdiknas. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.
Departemen Pendidikan Nasional Tahun 1999. Tentang Pemerintahan Pusat dan Daerah
Undang-undang no. 22 tahun 1999 yang dirubah dengan Undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang otonomi Daerah adalah sebagai landasan diberlakukannya Otonomi Daerah di seluruh Indonesia. Dengan demikian imbasnyapun sampai terasa di sekolah-sekolah. Adapun kemasan otonomi sekolah itu terlintas sebagai berikut :
1) Terhadap RAPBS terbuka mulai tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, untuk diprogram dilaksanakan, dikaji dan dikritisi dengan bukti autentik bahkan pembukuannyapun harus transparan.
2) Program Sekolah harus dibuat, dilaksanakan, dan dikritisi oleh Kepala Sekolah sendiri, guru, orang tua siswa, Komite, Pengurus Sekolah bahkan oleh Stakeholder yang lain.
3) Program Komite Sekolah harus dibuat, dilaksanakan, juga dikritisi dan harus selalu dipampang untuk ditunjukkan dan dievaluasi oleh masyarakat sekolah.
Dampak otonomi sekolah (Ibid. 1999) meliputi:
1) Tercipta Suasana kondusif, enovatif dan berkesinambungan
2) Selalu terjadi konsepsional kinerja ke depan.
3) Tidak menunggu perintah atau ultimatum jajaran lintas kependidikan.
4) Bebas dalam koridor prinsip kependidikan.
5) Masyarakat ikut merasa memiliki sekolah.
6) Ada semangat yang tinggi dalam kompetisi tingkat kelas, maupuan sekolah.
7) Hubungan antar orang tua siswa makin akrab dan harmonis.
8) Termotivasi untuk memprogram kelas unggulan.
9) Wali murid dan Komite Sekolah berhak ikut urun rembug dalam menentukan tenaga-tenaga yang profesional di sekolah.
10) Tercipta upaya kebersamaan, tanggung jawab antar pilar pendidikan (PAKEM, transparansi managemen, otonomi sekolah dan PSM) sebagai bagian akuntabilitas sekolah.
Transparansi managemen sekolah keterbukaan adalah modal dan wacana baru di era reformasi dan otonomi daerah khususnya di bidang pendidikan. Untuk itu jika timbul faktor-faktor penghambat keterbukaan yang sedang berjalan adalah rentan untuk bergejolak, tajam kritik, sulit diajak maju adalah merupakan problematika sekolah yang harus segera ditangani. Maka diperlukan sikap kontinue, ajeg dalam mengadakan pendekatan 3K yaitu koordinasi, konsultasi dan komunikasi agar tercipta transparansi yang alamiah.
Desentralisasi pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) merupakan satu bentuk de¬sentralisasi yang menuntut otonomi sekolah. Sesuai dengan pendapat salim dalam http://sambasalim.com/pendidikan/otonomi-sekolah-dan-mbs.html, beberapa urusan yang secara langsung dapat diserahkan kepada sekolah sebagai perwujudan dari otonomi sekolah adalah sebagai berikut:
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tu¬juan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah.
Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga adminis-tratif yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendu¬kung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima, syarat siswa yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota perlu mendapat kan pertimbangan secara bijak.
Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertim-bangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum.
Keempat, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dsb. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Provinsi dan kabupaten/kota.
Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa itu sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah.
Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.
Agar sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendi¬dikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan prog¬ram yang sistematis dengan melakukan “capacity building“. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pem¬belajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut di atas. Namun, kegiatan “capacity building” tersebut perlu dilakukan secara sistematis, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan, mempunyai arah yang jelas dan terukur. Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Jadi, capacity building dilakukan untuk meningkatkan (upgrade) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap per¬kembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap pra. Satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumber sumber pendidikan (mi¬salnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dsb.) yang memadai untuk menyelenggarakan pela¬yanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuan¬nya, satuan-satuan pendidikan ini perlu dileng¬kapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu Tahap Formalitas.
2. Tahap Formalitas; satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administratur (seperti kepala seko¬lah) dan pelaksana pendidikan (seperti guru¬-guru, instruktur, tutor, dsb.) agar dapat melak¬sanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses pembela¬jaran yang kreatif dan inovatif jika pengem¬bangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan, maka satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan mini¬mum tingkat sekolah, terutama yang menyangkut ukuran-ukuran output pendidikan seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan pengulangan kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
3. Tahap Transisional; satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang. sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti ke¬mampuan mendayagunakan sumber-sumber pen¬didikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional selanjutnya dapat dinaikkan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Otonom (Meaning).
4. Tahap Otonom; satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian ca¬pacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan menuju pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu mem¬berikan pelayanan di atas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimum) dan akan bertang¬gungjawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.
Dari tahap-tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut sebagai berikut.
1. Terhadap kelompok satuan pendidikan pada Tahap Pra-formal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya memperlengkapi satuan-satuan pendidikan dengan sarana¬ prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal tetapi memadai untuk dapat mencapai Tahap perkembangan berikutnya.
2. Terhadap kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai Standar teknis (Tahap Formalitas), strategi capacity building dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan pengembangan kemam¬puan tenaga kependidikan, seperti kepala sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran yang paling efektif jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai ke¬mampuan ini, mereka dapat ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transi¬sional.
3. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai Tahap Transisional, perlu dikembangkan sistem manajemen berbasis sekolah yang didu¬kung oleh partisipasi masyarakat dalam pendi¬dikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, par¬tisipasi masyarakat dan akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan, maka satuan-satuan pen¬didikan sudah dapat dinaikkan kelasnya ke Tahap Otonomi.
4. Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan sistem indikator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan standar minimal pelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sistem indikator ini perlu didukung oleh sistem pendataan pendidikan yang akurat, relevan, lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dan dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan sejak tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi sampai dengan tingkat nasional.
Sumber
Adib, Wahid, 2007, Tesis, Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Iklim Kerja Terhadap Prestasi Kerja Guru Aliyah Negeri Purwokerto.
Champman, Judith. (1990). School-Based Decision Making and Management. London UK: The Palmer Press
Cheng, Yin Choeng. (1996). School Effectiveness and School Based Management. Washington USA: The Falmer Press
Dinas Propinsi Jawa Barat. (2003). Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat. Bandung: Dinas Propinsi Jawa Barat
Dit. PLP. (2001). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep dan Pelaksanaan. Buku 1. Jakarta: Dit SLTP Depdiknas
Fattah, Nanang (2004). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Fiedler, Fred E. and Charmers, Martin M.1974. Leadership and EffectiveManagement. Glenview Illionis: Scott, Foresman and Company.
Hersey dan Blanchard,1989. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Johns, Gary.1988, Organizational Behavior; Understanding Life at Work . Dallas: Scott.
Johnson, Lois V. and Mary A. Bany (1970) Classoom Management. London : The Macmilan Company.
Mulyasa, 2003 : Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : ROSDA
Mulyasa, 2003.Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK.PT Remajarosdakarya. Bandung.
Mulyasa, 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, PT Remaja Rosdakarya Bandung
Nawawi, H Hadari,2000, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif, Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Reynolds, Larry J. (1997). Successful Site Based Management, a Practical Guide (Revised Edition). California: Crowin Press, Inc. A Sage Publications Company Thousand Oaks
Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi. Terjemahan Oleh Pujaatmaka. 1996. Jakarta: PT Prenhallindo.
Rumtini. Jiyono. 1999. “Manajemen Berbasis Sekolah”. Konsep dan Kemungkinan Strategi Pelaksanaannya di Indonesia”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni Tahun Ke 5 No. 017. Hal. 77-101.
Soekarto, I. (1994) Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang Baik. Jakarta : Gahlia Indonesia
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Suryadi, Ace dan Mulyana, Wiana. 1993. Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru. Jakarta: Cardimas Metropole.
Sutarto. 1995. Dasar - Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutrisno Hadi. (2000). Metodologi Research, Jilit 1,2,3,dan 4 Yogyakarta:Penerbit Andi.
Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat. 2003. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Usman, Uzer (1990). Menjadi Guru yang Professional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Usman, Uzer dan Setiawati, (2003). Upaya Obtimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya.
Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wohlstetter Priscilla, Ani N. Van Kirk, Peter J. Robertson, dan Susan A. Mohrman. (1997). Organizing for Successful School Based Management. Alexandria Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development
Wohlstetter, Priscilla and Mohrman, Susan Albert (1996). Assessment of School Based Management Studies of Education Reform. US Department of Education Office of Education Research and Improvement. [Online].
Yukl, Gary A.. 1981. Leadership In Organization. New York: Prentice-Hall Inc.
Dokumen:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Panduan Manajemen Sekolah,
Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Departemen PendidikanNasional. (2002) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, buku I, Jakarta ; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Departemen Pendidikan Nasional (2000) Bekerja dengan Guru, Buku Utama. Dirjen Dikdasmen. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2003) Undang Undang RI. No: 20 Tahun 2003. Tentang Sistim Pendidikan Nasional.
Depdiknas, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
Undang Undang RI. No: 20 Tahun 2003. Tentang Sistim Pendidikan Nasional. Depdiknas. Jakarta.
Undang Undang RI. No: 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Depdiknas. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.
Departemen Pendidikan Nasional Tahun 1999. Tentang Pemerintahan Pusat dan Daerah
2 comments:
SAYA SANGAT BERSYUKUR ATAS REJEKI YANG DIBERIKAN KEPADA SAYA DAN INI TIDAK PERNAH TERBAYANKAN OLEH SAYA KALAU SAYA BISA SEPERTI INI,INI SEMUA BERKAT BANTUAN MBAH RAWA GUMPALA YANG TELAH MEMBANTU SAYA MELALUI NOMOR TOGEL DAN DANA GHAIB,KINI SAYA SUDAH BISA MELUNASI SEMUA HUTANG-HUTANG SAYA BAHKAN SAYA JUGA SUDAH BISA MEMBANGUN HOTEL BERBINTANG DI DAERAH SOLO DAN INI SEMUA ATAS BANTUAN MBAH RAWA GUMPALA,SAYA TIDAK AKAN PERNAH MELUPAKA JASA BELIAU DAN BAGI ANDA YANG INGIN DIBANTU OLEH RAWA GUMPALA MASALAH NOMOR ATAU DANA GHAIB SILAHKAN HUBUNGI SAJA BELIAU DI 085 316 106 111 SEKALI LAGI TERIMAKASIH YAA MBAH DAN PERLU ANDA KETAHUI KALAU MBAH RAWA GUMPALA HANYA MEMBANTU ORANG YANG BENAR-BANAR SERIUS,SAYA ATAS NAMA PAK JUNAIDI DARI SOLO DAN INI BENAR-BENAR KISAH NYATA DARI SAYA.BAGI YANG PUNYA RUM TERIMAKASIH ATAS TUMPANGANNYA.. DANA DANA GHAIB MBAH RAWA GUMPALA
patek reh
Post a Comment
Bagi Pengunjung dan mengambil data dari Blog ini, Untuk Perbaikan artikel-artikel di atas DIWAJIBKAN BERKOMENTAR, Trms..Wassalam